29 Juli 2008

Anakmu Bukanlah Anakmu

Anak dan Perlakuan kita dalam sebuah refleksi puisi Kahlil Gibran

John Th. Ire



Dan seorang wanita yang mendekap anaknya berkata:
“Bicaralah pada kami perihal anak –anak”.
Maka orang bijak itu pun bicara:
“Putramu bukanlah putramu. Mereka adalah putra – putri kehidupan yang mendambakan hidup mereka sendiri.
Mereka datang dari kamu tetapi tidak dari kamu. Dan sungguhpun bersamamu mereka bukanlah milikmu. Engkau dapat memberi kasih sayangmu tetapi tidak pendirianmu sebab mereka memiliki pendirian sendiri.
Engkau dapat memberikan tempat pijak bagi raganya tapi tidak bagi jiwanya, lantaran jiwa mereka ada di masa datang, yang tidak bisa engkau capai sekalipun dalam mimpi.
Engkau boleh berusaha mengikuti alam mereka, tetapi jangan berharap mereka dapat mengikuti alammu, sebab hidup tidak surut ke belakang, tidak pula tertambat di masa lalu.
Engkau adalah busur dari mana bagai anak – anak panah kehidupan putra – putrimu melesat ke depan”.
The Prophet by Kahlil Gibran


Sebuah Puisi yang sangat menarik dan tak pernah lekang oleh zaman bahkan akan senantiasa memberikan inspirasi baru bagi yang membaca dan menyimaknya. Menjadi lebih menarik lagi karena dalam Pameran Iklan di Jakarta bertepatan dengan Ulang Tahun ke 37 Matari Advertising Indonesia pada April 2008 yang lalu memiliki catatan tersendiri. Dalam catatan Dunia Periklanan pada periode 1970-an Puisi tua ini pernah dipakai sebagai iklan layanan masyarakat dengan judul ’Renungan Bagi Orang Tua’ Namun, sayangnya iklan ini kemudian ditarik dari peredaran karena memicu kemarahan pemerintah... entah dari aspek mana ketersinggungannya?
Dalam konteks anak sebagai pemilik sang waktu yang akan datang dalam bentuk sebuah asset kehidupan di masa depan mari kita mencoba melihat karakter sebagai sebuah manifestasi bentuk perlakuan kita pada anak. Sebelum membahas lebih lanjut penulis ingin mengajak pembaca untuk melihat Buramnya Potret Anak Indonesia yang dilihat dari beberapa aspek dari berbagai sumber :
Kesehatan :
• 5.119.935 balita dari 17.983.244 balita Indonesia (28,47%) termasuk kelompok gizi kurang dan gizi buruk sehingga Indonesia dikategorikan dalam negara dengan status kekurangan gizi yang tinggi (WHO, 2004)
• Angka gizi buruk meningkat dari 1,8 juta balita di tahun 2005 menjadi 2,3 juta balita di tahun 2006 (UNICEF,2007)
• Hanya 42 % balita yang mendapat ASI ekslusif 6 bulan; 81% mendapatkan ASI makanan tambahan 6-9 bulan; 65% mendapatkan ASI makanan tambahan 20-23 bulan (UNICEF report, 2004)
• Hanya 77% anak yang mendapat imunisasi TB; 75% mendapat imunisasi DPT3; 74% mendapat imunisasi Polio3; 76% mendapat imunisasi Cacar; 67% mendapat imunisasi HepB3 dan 81% ibu hamil (imunisasi tetanus) sedangkan 61% anak (6-59 bulan) yang memperoleh Vit. A (Unicef, 2005)
• Pada tahun 2005 angka kematian bayi mencapai 32/1.000 kelahiran hidup dan angka kematian balita mencapai 40/1.000 (BPS, 2006)
• 154,126 anak kekurangan gizi diantaranya 29,480 anak menderita gizi buruk dan 120 anak kena marasmus (86 di sumba barat, 15 di kupang dan 10 di east flores dan 6 di TTS dan 3 di belu) (Jakarta Post, 24 february 2007)
• 80,582 anak balita di TTU terkena kurang gizi (Jakarta Post, 24 february 2007)
Pendidikan
• Bugdet pendidikan dalam APBN 2008 hanya 5,7 % (5,7 trilyun) (pidato presiden RI, Agustus 2007)
• Keikutsertaan anak dalam pendidikan masih rendah yaitu : preschool (5-6) = 22,35%; SD (7-12) = 94,19%; SMP (13-15) =59,47%; SMA (16-18) = 37,95% (laporan KHA nasional, 2007)
• Tingkat drop out di masing-masing level adalah : SD = 2,97%; SMP = 2,42%; SMU = 3,06% (laporan KHA nasional, 2007)
• Total buta aksara bagi populasi di atas 10 tahun adalah 8,09% (laporan KHA nasional, 2007)
• Jumlah penduduk = 4,3 juta jiwa atau 4.471.863 jiwa dan jumlah keluarga miskin meliputi 3.120.000 jiwa atau 624.000 keluarga (Kompas, 10 Oktober 2007)
• Pada tahun 2004/2005, jumlah siswa usia (7-18 tahun) sekolah mencapai 1.405.457 jiwa dan sekitar 723.000 anak tidak mendapatkan pendidikan (Kompas, 10 Oktober 2007)
Ekploitasi Ekonomi & Perdagangan Anak
• 1,5 juta anak usia 13-15 tahun bekerja dalam kondisi yang berbahaya contohnya anak-anak yang bekerja di kapal ikan (ILO, 2007)
• 2,6 juta orang pekerja domestik dan 68.000 dari mereka adalah anak-anak termasuk 640.000 remaja perempuan di bawah 18 tahun (ILO, 2007)
• 150000 anak menjadi anak jalanan (Data LSM, 2006)
• Pada tahun 2006, korban perdagangan manusia mencapai 1.022 jiwa dan 23 % diantaranya adalaha anak-anak (IOM, 2007).
• Korban perdagangan perempuan dan anak-anak untuk tujuan pekerja seks komersial mencapai 40.000-70.000 orang (UNICEF, 2006)
• Bagaimana dengan situasi TKI,TKW, pekerja anak asal NTT di daerah atau negara lain?
• Berapa kali dalam sebulan ada berita jenasah TKI/TKW yang dipulangkan ke NTT ?
• Berapa banyak anak-anak NTT yang harus bekerja ke luar daerah tanpa keterampilan?
Situasi Konflik / Bencana
• 166.080 orang terbunuh dalam bencana tsunami di Aceh dan Nias dan 99.648 orang (60%) diantaranya adalah anak-anak(laporan KHA, 2007)
• 4000 anak terpisah dari orang tuanya (laporan KHA, 2007)
• 108.905 anak menjadi korban baik meninggal dunia, menderita cacat permanen dan trauma dalam bencana gempa bumi di Bantul.
• Bagaimana dengan keadaan anak-anak jika terjadi bencana di NTT? (gunung Egon, Betun, manggarai)
Permasalahan dengan Hukum
• 136.000 anak bermasalah dengan hukum di Indonesia (BPS, 2005)
• 42 anak berada di penjara anak Kupang ( Juli 2007 )
• 11 orang anak berada di LAPAS Ende yang bercampur bersama dengan tahanan orang dewasa
Identitas Anak
• Sebagian daerah di Indonesia yang belum menetapkan pembuatan akte kelahiran secara gratis bahkan dijadikan sebagai sumber retribusi meskipun itu merupakan hak dasar anak sebagaimana diamanatkan dalam Undang – Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 .

Pada dasarnya ada 4 prinsip dasar hak anak yaitu : Hak kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, Kepentingan terbaik bagi anak, Non diskriminatif dan Hak partisipasi anak. Namun dalam perjalanannya selama ini ada banyak pelanggaran yang terjadi terhadap hak anak ini. Kekerasan terhadap anak adalah suatu kejahatan terhadap Hak Asasi (pasal 2 dan 19 Konvensi Hak Anak PBB. Pada Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 secara jelas menyatakan bahwa kekerasan dan perlakuan kejam terhadap anak adalah suatu kejahatan (pasal 80). Namun demikian assessment yang dilakukan di propinsi NTT dan NTB serta suatu studi yang dilakukan di 6 kota besar di Indonesia yang didukung oleh Unicef menunjukkan bahwa kejadian kekerasan terhadap anak di Indonesia bisa dibilang sangat tinggi baik itu kekerasan fisik, mental maupun seksual. Ada banyak kasus yang sampai ke lembaga-lembaga publik (kepolisian, pengadilan) untuk penyelesaiannya namun tidak sedikit juga selesai begitu saja atau tidak dilaporkan karena berbagai alasan. Ibarat fenomena gunung es tentunya kasus yang muncul ke permukaan ini hanyalah sebagian kecil dari yang ada di bawah permukaan.
Tindak kekerasan dapat terjadi di mana saja, baik di rumah (keluarga - oleh orang tua ), di sekolah ( oleh guru ), ataupun di lingkungan masyarakat, dan dapat dilakukan oleh siapa saja, baik orang tua maupun orang dewasa lainnya, kelompok masyarakat, remaja, tidak terkecuali oknum pejabat, dan sebagainya dengan berbagai bentuknya. Dari sebuah penelitian yang dilakukan pada anak-anak ( Ende dan Sikka ) sekitar 300 anak menemukan bahwa sebagian besar murid pernah mengalami beberapa tipe kekerasan : kekerasan fisik seperti dilempar kapur, dipukul, ditampar dsb, kekerasan psikologis yaitu verbal seperti mengatakan anak bodoh, seperti abbi, dsb dan non verbal seperti mengisolasi anak.Dari hasil survey pada 60 anak ditemukan bahwa 60% anak pernah di jewer; 30 % pernah dilempar dengan kapur; 90% pernah di tampar; 35 % pernah jarinya di jepit dengan pulpen; 95% pernah dikatakan bodoh atau kata-kata lain yang menyakitkan. Di sisi yang lain orang tua menyetujui cara pengajaran guru dengan kekerasan karena mereka percaya kekerasan adalah cara terbaik untuk mendisiplinkan anak. Sepintas kalau mau dilihat sebenarnya sudah mulai ada semacam kesadaran baru dari masyarakat untuk memenuhi hak anak dan memberikan efek jera pada si pelaku dengan menyelesaikan kasus kekerasan terhadap anak dengan tidak hanya sebatas urus damai saja namun menyerahkannya kepada aparat penegak hukum baik itu kasus-kasus yang berat (pencabulan dan pemerkosaan) maupun kasus yang ringan penganiayaan di rumah dan dalam kelas/ lingkup sekolah yang sering dianggap lumrah. Jenis dan tempat terjadi kedua kasus ini yang seringkali selalu dengan alasan suci yaitu ‘ pembinaan ‘.Namun kita tidak boleh cepat berpuas diri karena meskipun sudah mulai ada kesadaran untuk melindungi anak dari kekerasan ternyata secara jumlah dan intensitasnya pun juga masih tinggi, sebagaimana hampir setiap hari kita, mendengar, membaca dan melihat berita dari berbagai media tentang anak sebagai kolrban kekerasan mulai dari yang ringan sampai yang paling berat. Pembahasan pada tulisan ini penekanannya akan diarahkan pada perlakuan dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh keluarga atau di lingkungan keluarga yang seringkali merasa paling berhak karena sebagai pemilik yang sah dari anak-anak.
“Putramu bukanlah putramu. Mereka adalah putra – putri kehidupan yang mendambakan hidup mereka sendiri.
Keluarga sebagai komponen masyarakat terkecil di mana orang tua adalah lingkungan yang pertama dan utama bagi pembentukan kepribadian dan tingkah laku anak. Dikatakan demikian, karena sejak kelahirannya anak berada di lingkungan dan di bawah asuhan orang tuanya. Pola sikap, perilaku, dan nilai – nilai yang ditanamkan orang tua kepada anak melalui pengasuhannya itu merupakan landasan fundamental bagi perkembangan kepribadian dan tingkah laku anak selanjutnya. Segall, et al., (1990) menyebutkan bahwa “the developmentalniche” memiliki tiga komponen yang saling terkait, yaitu: (1) konteks fisik dan sosial tempat anak hidup, (2) pengasuhan yang ditentukan secara kultur dan praktek – praktek pendidikan, dan (3) karakteristik psikologis orang tua. Secara lebih tegas Fuhrmann (1990 : 108) menyatakan, jika suatu factor dapat dipisahkan sebagai factor tunggal yang berpengaruh dalam perkembangan anak, factor itu jelas factor keluarga atau orang tua. Unit keluarga, meskipun berubah secara drastis sebagai hasil inovasi teknologi dan sosiologis, tetapi tetap sebagai tempat sosialisasi yang pertama dan utama.
Mereka datang dari kamu tetapi tidak dari kamu. Dan sungguhpun bersamamu mereka bukanlah milikmu.
Dengan cara apa dan bagaimana orang tua menanamkan pola sikap, perilaku, dan nilai kepada anak, sangat tergantung kepada filosofi atau cara pandang orang tua tentang anak (anak dimata orang tua). Cara – cara yang digunakan orang tua dalam pengasuhan anak tersebut akan berdampak terhadap perkembangan kepribadian dan tingkah laku anak. Pada dasarnya ada tiga cara pandang orang tua terhadap anak, yaitu: (1) anak dipandang sebagai obyek, (2) anak dipandang sebagai subyek, dan (3) anak dipandang sebagai obyek sekaligus subyek. Orang tua yang memandang anak sebagai obyek, cenderung mengunakan pendekatan authoritarian dalam mengasuh anak; dan orang tua yang memandang anak sebagai subyek, cenderung mengunakan pendekatan permissive atau laissez – faire dalam mengasuh anak; sedangkan orang tua yang memandang anak sebagai obyek sekaligus subyek, cenderung mengunakan pendekatan authoritativedalam mengasuh anak. Baumrind seorang ahli psikologi mengemukakan tiga tipe orang tua dengan karakteristiknya , yaitu : orang tua authoritarian, orang tua permissive, dan orang tua authoritative (Baumrind dalam Lerner & Hullsch, 1983:282– 283).
Orang tua authoritarian berusaha untuk menentukan, mengontrol dan menilai tingkah laku dan sikap – sikap anak sesuai dengan yang ditentukan, terutama sekali berdasarkan standar-standar yang absolut mengenai perilaku. Orang tua ini menekankan nilai kepatuhan yang tinggi terhadap kekuasaan atau kewenangannya dengan menghukum, memaksa dengan kuat untuk mengekang “kehendak diri” anak bila perilaku dan keyakinan – keyakinan anak bertentangan dengan apa yang dipandang benar menurut orang tua. Norman, Richard, dan Sharon (1994 : 557) menambahkan bahwa pendekatan authoritarian menekankan pada kepatuhan yang keras, tanpa variasi ataupun negosiasi, dan kurang memperhatikan lingkungan sekitar. Pendekatan ini terutama direkomendasikan untuk menghilangkan penyimpangan tingkah laku.
Orang tua permissive mencoba untuk mereaksi terhadap perilaku hasrat dan keinginan, impuls – impuls anak, dengan cara tidak menghukum tetapi menerima, mengiakan atau membolehkan. Orang tua ini tidak menawarkan dirinya kepada anak sebagai “agen” yang aktif dan bertanggungjawab terhadap pembentukan atau modifikasi tingkah laku anak saat ini atau di masa depan. Orang tua tipe ini menjadikan dirinya sebagai sumber penghidupan (resource) bagi anak, dan menuruti keinginan atau kehendak anak. Menurut Norman, Richard,dan Sharon(1994 : 557), pendekatan permissive atau laissez – faire menekankan pada kebebasan anak untuk berbuat atau beraktivitas dalam mengembangkan dirinya. Dasar pertimbangannya bahwa anak memiliki hak dan kebebasan dan harus diberi kebebasan mengembangkan diri sesuai dengan potensinya. Hetherington & Parke (1993) menyebutkan, orang tua permissive adalah longgar secara berlebihan dan disiplin yang diterapkan tidak konsisten.
Sedangkan, tipe orang tua authoritative menurut Hoffman (1970), berusaha menunjukan atau mengatur aktivitas anak mereka dengan cara – cara yang berpusat pada isu rasional. Orang tua berusaha merangsang tingkah laku yang diinginkannya pada anak melalui penjelasan – penjelasan dan mempertimbangkannya dengan anak. Orang tua tipe ini memberikan dorongan lisan (verbal) “ saling memberi dan menerima” serta mengijinkan anak untuk duduk bersama –sama untuk ikut mempertimbangkan apa yang tersirat dibalik policy mereka. Orang tua ini menggunakan kontrol tegas tetapi pada tingkat yang tidak terlalu membebani anak dengan retriksi atau kekangan. Orang tua authoritative berusaha mengkombinasikan kekuasaan atau kewenangan dan induksi (prabawa) dalam membesarkan anak dengan aturan – aturan yang dilihat sebagai hak dan kewajiban bersama yang saling melengkapi antara orang tua dan anak (Baumrind,1968 :261). Steinberg (1993) menambahkan bahwa orang tua authoritative adalah hangat tetapi tegas. Mereka menggunakan seperangkat standar untuk mengatur tingkah laku anak tetapi membangun harapan – harapan yang disesuaikan dengan perkembangan kemampuan dan kebutuhan anak. Mereka menekankan nilai yang tinggi pada perkembangan otonomi dan pengarahan diri, tetapi bertanggungjawab penuh terhadap perilaku anak. Para orang tua ini menanamkan kebiasaan – kebiasaan rasional, berorientasi pada masalah dan menyenangkan dalam perbincangan dan penjelasan di seputar persoalan disiplin dengan anak-anak mereka.
Engkau dapat memberi kasih sayangmu tetapi tidak pendirianmu sebab mereka memiliki pendirian sendiri.
Setiap pendekatan yang digunakan orang tua dalam pengasuhan anak seperti yang diuraikan di depan, jelas memiliki dampak terhadap perkembangan kepribadian dan perilaku anak. Hurlock (1997) menyebutkan, disiplin otoriter yang keras (“authoritarian”), disertai banyaknya hukuman badan cenderung memupuk kebencian kepada semua orang yang berkuasa dan menimbulkan perasaan menyerah, perasaan yang dapat dan sering berkembang menjadi kompleks martir. Pendekatan disiplin otoriter dan disiplin lunak (“permissive”) dalam keluarga, keduanya menimbulkan pertentangan di rumah dan menyebabkan kebencian pada anak .Disiplin yang demokratis (“authoritative”) biasanya menghasilkan hubungan yang baik dan harmonis dalam keluarga.
Hasil penelitian Baumrind dalam Heterington & Parke (1993 : 431) menunjukan dampak pola pengasuhan orang tua terhadap perkembangan kepribadian dan perilaku anak adalah sebagai berikut . Pola pengasuhan permissive menyebabkan anak bersifat menurutkan kata hati, mau menang sendiri dan agresif. Akibat lainnya seperti: menentang, tidak mau mengalah terhadap orang dewasa atau orang tua , kepercayaan diri rendah, orientasi untuk berkompetisi dan berprestasi rendah, kontrol diri sangat kurang, cepat marah, tanpa tujuan dan lemah dalam mengarahkan tujuan – tujuan aktivitasnya, serta bersifat menguasai dengan keras sekali. Pola pengasuhan authoritarian adalah anak menjadi penakut, cemas atau gelisah, suka murung, tidak bahagia, mudah tergganggu dan suka mengganggu, permusuhan secara pasif dan menggunakan tipu daya, mudah stress atau tegang, mudah dongkol dan menarik diri dari masyarakat, serta tidak terarah. Sedangkan, pola pengasuhan authoritative, menyebabkan anak giat atau penuh semangat dan ramah tamah. Dampak lain dari pola pengasuhan authoritative adalah percaya diri, kontrol atau mawas diri baik, periang atau menyenangkan, mampu bergaul dengan baik antar teman sebaya, mampu mengatasi stress atau tekanan dengan baik, memiliki perhatian dan rasa ingin tahu pada cerita roman, dapat bekerja sama dengan baik dengan orang dewasa, taat atau mudah diatur,mempunyai tujuan tertentu,dan berorientasi prestasi. Selain itu anak akan selalu berpikir rasional dan punya semangat kompetisi yang sehat.
Engkau dapat memberikan tempat pijak bagi raganya tapi tidak bagi jiwanya, lantaran jiwa mereka ada di masa datang, yang tidak bisa engkau capai sekalipun dalam mimpi.
Menyimak hasil – hasil penelitian diatas, orang tua atau orang dewasa lainnya di manapun berada (di rumah, di kantor, atau di lingkungan pergaulan masyarakat), sudah seharusnya memberi contoh berperilaku yang baik kepada anak – anak. Dengan begitu anak akan tumbuh dan berkembang menjadi anak yang berkepribadian dan berperilaku yang baik pula, dan terhindar atau menghindari perilaku kekerasan. Tetapi sebaliknya, jika contoh perilaku kekerasan yang disaksikan dan dirasakan anak sepanjang hidupnya, maka akan kita saksikan generasi yang cenderung berorientasi pada tindak kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalan yang ia hadapi.
Engkau boleh berusaha mengikuti alam mereka, tetapi jangan berharap mereka dapat mengikuti alammu, sebab hidup tidak surut ke belakang, tidak pula tertambat di masa lalu.
Persoalannya sekarang, pendekatan manakah yang sebaiknya diterapkan dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan anak? Apakah pendekatan permissive atau pendekatan authoritarian atau pendekatan authoritative yang direkomendasikan ? Didalam penerapan suatu disiplin sebagai upaya pembentukan dan pengembangan kepribadian dan perilaku anak, dianjurkan sedapat mungkin menghindari cara – cara kekerasan, baik itu kekerasan fisik maupun kekerasan psikologis. Sebagai acuan dalam penerapan disiplin pada anak, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan, yaitu: 1) Tujuan penerapan disiplin, Misalnya, bila tujuan penerapan disiplin itu adalah menghilangkan perilaku menyimpang pada anak, dapat digunakan pendekatan authoritarian dengan teknik hukuman yang tepat; tetapi bila tujuannya adalah untuk mendorong kreativitas dan kebebasan anak untuk berkembang sesuai dengan potensinya, maka sebaiknya digunakan pendekatan authoritative.2.) Konsistensi dari penerapan suatu disiplin, misalnya, penerapan pendekatan authoritarian dengan teknik hukuman yang digunakan untuk menghilangkan penyimpangan tingkah laku tertentu pada anak, maka untuk menghilangkan penyimpangan tingkah laku yang sama pada anak yang sama dalam waktu yang berbeda, sebaiknya menggunakan pendekatan yang sama yaitu pendekatan authoritarian dengan teknik hukuman. 3.) Tingkat atau fase perkembangan anak, Perkembangan individu melalui fase – fase tertentu, yaitu :fase bayi, fase anak, fase remaja, fase dwasa,dan fase lansia. Masing – masing fase ini memiliki karakteritik dan kebutuhan, serta kemampuan yang berbeda – beda, yang menuntut perlakuan yang berbeda pula. Oleh karena itu, maka penerapan pendekatan disiplin, sebaiknya diatur regulasinya secara bertahap sedemikian rupa dari fase bayi sampai pada fase lansia. Pendekatan authoritarian dan pendekatan permissive dapat diterapkan secara kombinatif sesuai tingkat perkembangan anak, dengan acuan utama berorientasi pada pendekatan authoritative.
Engkau adalah busur dari mana bagai anak – anak panah kehidupan putra – putrimu melesat ke depan”.
Kiranya kita semua menyadari bahwa sebagai orang tua, kita adalah busur dan seperti apa anak kita nantinya sangat bergantung pada kita semua saat ini. Kiranya pemenuhan hak anak dan segala upaya perlindungan bagi mereka adalah menjadi sebuah nilai dalam kehidupan bukannya keterpaksaan karena ketakutan akan bayangan sanksi sebagaimana yang tertuang dalam UUPA No. 23 Tahun 2002.
Dunia dan tatanan nilainya akan selalu berubah dan idealnya ke arah yang lebih baik. Semuanya sangat bergantung pada kita saat ini seperti kata Sang Nabi:
… Maka biarkanlah tiap musim merangkum musim yang lainnya.
Serta biarkanlah masa kini selalu memeluk masa lampau dengan kenangan.
Dan merangkul masa depan dengan kerinduan.
Pada akhirnya Terima kasih untuk Pujangga besar Kahlil Gibran yang telah menyadarkan kita akan nilai kehidupan.

*Ketua Lembaga Perlindungan Anak Ende, sebagian dari tulisan ini juga sudah pernah dipublikasikan sebagai Opini Penulis di SKH Pos Kupang

05 April 2008

Posyandu, sebuah konsep pendekatan hak anak

Oleh John Th Ire
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Ende

SEPERTINYA sudah menjadi hal yang `biasa' dan ada pemakluman tersendiri apabila terjadi kejadian luar biasa untuk masalah kesehatan di Indonesia. Kematian yang masih terhitung jari adalah hal yang biasa dan baru akan menjadi luar biasa apabila jumlahnya sudah bertambah dari jumlah jari dan sudah berakibat pada keengganan orang asing untuk datang. Demikian halnya juga di NTT, selalu saja ada pemakluman dan pemaafan secara kolektif akan hal ini. Beramai-ramai berbicara di media cetak dan elektronik, mengemukakan berbagai pendapat dan pandangan mulai dari kesehatan, agama, sosiologi, hukum, politik baik yang ilmiah rasional sampai juga yang non ilmiah irasional. Bingung, dan dari semuanya ada satu benang merah yang menghubungkan antara satu dan yang lainnya adalah kesadaran kolektif untuk memaklumi bahwa daerah ini memang minus dan dimulailah litani panjang kekurangan yang dimiliki. "Kita memang mengalami kesulitan karena kekurangan tenaga medis." Ada yang bilang, "Kita memang mengalami kesulitan karena medan (topografi) ini memang sulit." "Kesadaran masyarakat kita memang rendah." Dan masih banyak lagi kalimat pembenaran lain.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2003 Indonesia menduduki urutan ke-112 dari 174 negara dan hal ini tentunya erat hubungannya dengan pertumbuhan dan perkembangan anak. Jumlah penduduk menurut SUSENAS 2001 adalah : 202.707.418 jiwa. Anak usia 0-4 tahun 5,8% - atau 11.757.030 jiwa, anak usia sekolah 5-14 tahun 20,76% atau 42.082.059 jiwa, usia di atas 64 tahun 4,6% atau 9.324.541 jiwa. Masa bayi, balita bahkan sejak dalam kandungan merupakan "periode emas" karena jika pada masa tersebut pertumbuhan dan perkembangannya tidak dipantau dengan baik dan terjadi gangguan pertumbuhan dan perkembangan maka tidak akan dapat diperbaiki pada periode selanjutnya sampai usia dewasa.
Di Indonesia 153.681 bayi mati setiap tahun. Itu berarti setiap harinya ada 421 orang bayi yang mati sama dengan 2 orang bayi mati setiap menit. 54% penyebab kematian bayi adalah latar belakang gizi. Kita bisa melihat data selanjutnya pada kondisi Indonesia saat ini: 27,3% balita Indonesia gizi kurang, 8% dari mereka gizi buruk, 50% balita Indonesia kekurangan vitamin A, 48,1% balita anemia gizi, 36% anak Indonesia tergolong pendek, 11,1% anak sekolah menderita GAKY, 50% ibu hamil kurang gizi.
Situasi kesehatan NTT dapat digambarkan dari Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) sebagai berikut: AKI 2002: 383/100.000, 2003: 424/100.000, 2004: 321/100.000, 2005: 554/100.000 dibandingkan dengan AKI Nasional 307/100.000 (SDKI 2002-2003). Penyebab kematian terbesar adalah perdarahan (58%) yang dipicu oleh anemia yang dialami ibu selama masa kehamilan. Sedangkan kematian neonatal 2002: 987/100.000 dan 2003: 904/100.000. Penyebab kematian terbesar adalah Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) 29%. BBLR terjadi karena pada masa kehamilan ibu mengalami kekurangan energi kronik (KEK).
Selain AKI/AKB, status gizi balita dapat juga menggambarkan situasi kesehatan di NTT. Ketika KLB busung lapar ramai diberitakan pertanggal 11 Juli 2005 adalah sbb : dari 477.829 balita di NTT, jumlah yang menderita gizi kurang adalah 85.604 anak balita, 12.925 menderita gizi buruk, 425 balita menderita marasmus dan meninggal adalah 35 orang yang tersebar pada 16 kabupaten/ kota. Berbagai upaya terus dilakukan ternyata pergeserannya juga masih belum terlalu jauh, seminggu yang lalu di awal Maret 2006 jumlah gizi buruk 13.000 dan yang meninggal sudah menjadi 52. Ini merupakan bukti bahwa perlakuan kita pada anak dan ibu belum sepantasnya. Atau dengan kata lain, mungkin kita masih melihat anak dan ibu dalam ukuran/standar kita. Kita lupa bahwa ibu semasa hamil dalam kondisi yang riskan membutuhkan perhatian khusus (AnteNatal Care, Gizi) dan anak masih bertumbuh dan berkembang yang membutuhkan sangat banyak `bahan dasar' yang baik. Kita juga bisa belajar banyak hal dari kasus busung lapar. Tanpa bermaksud untuk berprasangka buruk, sekadar untuk mengingat kasus busung lapar beberapa waktu yang lalu ketika awal-awal dipublikasikan hampir semua instansi terkait dan kepala wilayah setempat mulai dari yang paling kecil bersikap denial (menyangkal), namun cerita menjadi lain ketika media dan LSM mulai menunjukkan fakta-fakta dan begitu banyak yang tertarik akan memberikan bantuan, data tentang jumlahnya pun melambung menjadi sangat fantastis. Mengapa demikian? Apakah sistem deteksi dininya tidak berjalan ataukah laporannya tidak diteruskan atau informasi diperoleh, namun dianggap tidak terlalu penting untuk ditindaklanjuti?
Adakah institusi yang dapat kita gunakan untuk mengatasi masalah ini?
Posyandu, demikian singkatan dari Pos Pelayanan Terpadu, awalnya adalah sebuah organisasi pelayanan pencegahan penyakit dan keluarga berencana bagi kalangan isteri berusia subur dan balita. Posyandu diharapkan lahir dan dikembangkan atas kesadaran dan upaya masyarakat sendiri, atau partisipasi sosial dari setiap komunitas di desa dan kelurahan. Dalam rencananya kegiatan posyandu akan dilakukan oleh para anggota PKK tingkat desa dan kelurahan di bawah koordinasi isteri kepala desa atau lurah setempat. Posyandu juga sebenarnya merupakan salah satu kegiatan dari LKMD. Sebagaimana dalam ketentuan Depdagri, LKMD merupakan perwujudan dari seluruh anggota masyarakat dengan memadukan pimpinan formal pemerintahan dan para tokoh informal setempat di bawah koordinasi kepala desa atau lurah. Mereka merancang kegiatan pembangunan dan melaksanakannya bersama berdasarkan keputusan bersama yang demokratis termasuk posyandu. Posyandu : pos pelayanan terpadu adalah akronim yang sudah sangat familiar di telinga masyarakat kita, tapi jujur harus diakui bahwa sampai dengan saat ini masih banyak desa yang belum memiliki organisasi ini. Kalaupun ada, tidak berjalan, berjalan pada awal bulan selanjutnya tidak berjalan atau berjalan pada saat ada kunjungan dari atasan atau juga ada KLB, kejadian luar biasa. Yang berjalan pun hanyalah terbatas pada kegiatan penimbangan bayi dan pengisian KMS serta pemberian makanan tambahan. Kegiatan posyandu pada saat ini mengalami kemunduran. Yang masih berjalan hanya imunisasi dan gizi dalam pertemuan bulanan.
Kegiatan bulanan mundur kualitasnya, sementara penggerakan aksi masyarakat dan komunikasi masa/kunjungan ke rumah hampir tidak ada. Kader yang tidak aktif dan kalaupun aktif selalu berjuang sendiri bersama tim penggerak PKK yang juga dalam komunikasinya kadang terkesan otoriter karena terkesan ada pembagian kelas atas dan bawah yaitu kader dan tim penggerak PKK melihat para ibu sebagai kelompok sasaran.
Kegiatan lain tidak berjalan dengan teratur seperti penyuluhan, namun malah kegiatan yang sebenarnya tidak termasuk dalam program posyandu justeru yang dilaksanakan sehingga ramai dikunjungi yaitu perawatan kuratif yang dilaksanakan oleh paramedis dari puskesmas setempat dengan biaya yang disesuaikan dengan kemampuan pasien. Pada akhirnya posyandu lebih sebagai tempat masyarakat mencari pengobatan. Memang pola seperti ini awalnya hanya dilakukan pada tempat-tempat yang sangat terpencil, namun pada akhirnya ada semacam persepsi bahwa inilah bentuk `peningkatan posyandu'.
Bila dilihat lebih jauh ada banyak hal yang kita dapatkan selain daya tarik posyandu hanyalah pada perawatan kuratif beberapa di antaranya : posyandu hanya dilihat sebagai sebuah rutinitas biasa; posyandu hanya menjadi urusan dari kelompok sasaran yaitu ibu hamil, bayi dan balita; sistem deteksi dini tidak berjalan, informasi yang diperoleh tidak digunakan sebagaimana mestinya. Sebagai contoh, kasus busung lapar yang dengan sangat cepat langsung menjadi KLB, padahal tentunya kasus ini tidak serta merta terjadi. Permasalahan lain adalah komunikasi hanya terbatas pada para kader kesehatan dengan ketua tim penggerak PKK, antara para ibu dan para petugas kesehatan pada tingkat puskesmas. Dalam keterbatasannya, kader yang memang cukup letih berjuang sendiri kadang salah berkomunikasi. Tenaga medis akan selalu berlindung di balik alasan kekurangan tenaga dan fungsi mereka hanya pelayanan, bukan sebagai penggerak masyarakat. Apabila mengalami hambatan komunikasi bukannya mencari alternatif lain. Dengan hilangnya BKKBN di daerah mempunyai masalah tersendiri karena tidak ada lagi instansi yang memiliki lini sampai di tingkat desa selain dinas kesehatan.
Siapa yang terkena dampak?
Dari permasalahan ini anak akan langsung mengalami dampaknya, yaitu apa yang seharusnya diperoleh sebagai haknya selain mendeteksi secara dini gangguan pada pertumbuhan dan perkembangan balita terabaikan yaitu hak hidup, hak tumbuh kembang dan hak perlindungan. Kehadiran ibu menyusui, ibu hamil untuk memperoleh pelayanan tablet tambah darah, penimbangan berat badan dan penyuluhan kesehatan tidak diperolehnya sehingga berdampak pada kondisi kesehatannya. Upaya menuju persalinan selamat pun menjadi hal yang sulit. Akibatnya oleh masyarakat posyandu pun semakin dilihat sebagai sebuah rutinitas biasa yang kalau toh dijalankan tergantung waktu luang karena tidak memberikan sebuah pengaruh yang signifikan dan pada akhirnya tinggalah perempuan sendiri yang berkutat dengan permasalahan kesehatan reproduksinya. Kader pun akan kehilangan motivasi kerja dan dalam keterbatasannya kader yang memang cukup letih berjuang sendiri kadang salah berkomunikasi. Perdebatan tentang siapa yang benar, tenaga yang terbatas, topografi yang sulit dan masyarakat yang malas akan selalu muncul antara instansi termasuk TP PKK, dinas kesehatan, BPMD, pemerintah desa dan masyarakat. Pada akhirnya akan muncul kalimat : "Posyandu adalah milik masyarakat dan sebagai bentuk partisipasi masyarakat." Namun karena ini menyangkut permasalahan kesehatan dan sudah ada salah kaprah dan terlanjur mengidentikkan perawatan kuratif sebagai bagian dari upaya peningkatan posyandu, masyarakat pun dengan serta merta akan menuding dinas kesehatanlah `yang paling layak untuk dikambinghitamkan'.
Mengapa semua ini bisa terjadi?
1). Selain karena pembentukannya tidak partisipatif kadang hubungan tugas antara kepala desa/lurah beserta isteri mereka yang sebagai ketua tim penggerak PKK berlangsung secara otoriter dan tidak demokratis. 2.) Pemahaman masyarakat yang bias gender di mana melihat permasalahan anak adalah urusan perempuan dan perempuan sendiri tidak mampu mengambil keputusan apa yang terbaik bagi dirinya tentang hak reproduksinya, karena masalah kesehatan reproduksi akan tetap hanya menjadi urusan perempuan. 3.) Saling lempar tugas dan tanggung jawab dari instansi terkait yang dalam funsinya adalah pembina. 4.) Minimnya pemahaman masyarakat (termasuk instansi pemerintah) tentang hak dan tanggung jawabnya 5.) Posyandu dilihat hanya sebatas permasalahan kesehatan.
Selanjutnya apa yang dapat kita lakukan dengan melihat lima besaran sumber masalah di atas? Saya pikir ada satu jalan yang sangat tampan yang dapat menca-kup kelima permasalahan di atas yaitu kita masuk melalui permasalahan keempat. Posyandu harus dilihat sebagai sebuah pendekatan hak. Hak anak dan hak perempuan. Ada dua hal yang harus dipromosikan di sini untuk dihubungkan pada titik posyandu yaitu : apa yang disebut dengan responsibility (tanggung jawab) dari masyarakat dan obligation (kewajiban) dari negara. Masyarakat harus disadarkan bahwa mereka punya hak di sini hak untuk sehat dan posyandu adalah hak anak dan hak perempuan. Semua orang memiliki hak yang setara untuk itu dan untuk itu dituntut seluruh lapisan masyarakat untuk ikut bertanggung jawab untuk pemenuhan hak tersebut. Saat yang bersamaan juga masyarakat juga harus disampaikan bahwa negara memiliki obligation untuk pemenuhan hak tersebut melalui instansi terkait. Dengan demikian masyarakat bertanggung jawab dan dapat mengomunikasikannya dengan instansi terkait (pemerintah) dan instansi (pemerintah) juga akan melaksanakannya dengan penuh rasa tanggung jawab.
Program revitalisasi posyandu mutlak dilakukan, namun kader dan instansi terkait perlu diberikan sebuah pemahaman baru dengan sebuah pendekatan hak yaitu hak anak dan perempuan.
Idealnya apabila ini bisa berjalan dengan baik, po-syandu pada akhirnya dapat dibangun dengan prinsip kebersamaan dan partisipasi yang adil dan setara (equal participation), keterbukaan (transparency), kebertang-gungjawaban (accountability) dan kelestarian program (sustainability). Dan bukan tidak mungkin pada akhirnya posyandu akan dapat menemukan nilai-nilai baru yang pada akhirnya dapat digunakan (rules in-use) yang mereka gunakan untuk acuan bertindak (Elinor Ostrom 1992). Sebagai contoh, karena posyandu adalah wadah yang paling depan di masyarakat dengan anak sebagai kelompok sasarannya, pada akhirnya dapat menjadi rujukan bagi berbagai upaya pemenuhan hak anak dan perempuan. Kita tidak perlu berdebat tentang topografi yang sulit dan tenaga medis yang terbatas serta kader yang rendah SDM-nya karena partisipasi masyarakat pada akhirnya mengantarkan mereka untuk ikut terlibat mendeteksi secara dini siapa yang membutuhkan pertolongan persalinan, misalnya siapa, kapan dan di mana dan pada akhirnya juga adanya sistim ambulans desa yang bekerja dengan baik, siapakah dengan golongan darah nyang sama yang akan siap mendonorkan darahnya nanti apabila dibutuhkan sehingga risiko bahaya bisa diperkecil. Sementara untuk pemenuhan hak anak bukan tidak mungkin posyandu pada akhirnya menjadi salah satu bagian terpenting dari sebuah sistem rujukan pemenuhan hak anak. Kader dapat menjadi vocal point bagi upaya pemenuhan hak anak. Identitas anak bisa diawali dari posyandu, data pelanggaran hak anak bisa diperoleh juga dari posyandu. Dan hal ini akan menjadi sebuah modal sosial baru dalam masyarakat yang berintikan pada kepercayaan (trust), norma-norma (norms), dan jaringan-jaringan (networks). Semua ini tentu mudah dilakukan apabila semua lapisan masyarakat ikut berpartisipasi. Suatu partisipasi dikatakan tinggi seluruh warga memiliki kesempatan yang sama untuk terlibat dalam semua tahapan pengelolaan yaitu : perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pemanfaatan hasil (Norman Uphoff 1988).
Posyandu adalah modal sosial yang sangat besar dan dapat merubah dunia apabila bisa dikelola dan berjalan dengan baik. Di sanalah tempat para harapan bangsa dan ibu bangsa ini dilayani agar menjadi sehat karena itulah hak mereka dan kita semua berkewajiban dan bertanggung jawab agar hak mereka terpenuhi.
"Mungkin ini sulit tapi bukan tidak mungkin. Hidup ini bila dilihat dan dipikirkan sebelum dijalani akan terlihat sebagai untaian tragedi dan bila dipikirkan dan dilihat setelah dijalani semuanya adalah untaian komedi. Mari, sejak saat ini kita coba membantu posyandu di sekitar kita agar di masa depan menjadi lebih baik. Maka biarkanlah tiap musim merangkum musim yang lainnya. Serta biarkanlah masa kini selalu memeluk masa lampau dengan kenangan. Dan merangkul masa depan dengan kerinduan.*
Pos Kupang online http://www.indomedia.com/poskup/2006/03/16/edisi16/1603pin1.htm)
Tanggal : 16 Maret 2006

Yayasan Swabina Yasmine Flores

Yayasan Swabina Yasmine Flores
Swabina Yasmine Flores Foundation
Singkatan : SYF

  • Contact Person : John Th. Ire (Direktur Eksekutif)
    alamat : Jl. Wirajaya, Lor SMUN 1, Ende, Flores
    Kota : NTT
    Kode Pos : 86318
    Telepon : 0381-23065
    Fax : 0381-21613
    Hp : 0812-365-0734
    Email : irejasmine@yahoo.com
  • Jenis Organisasi : yayasan, foundation
    Tahun Berdiri : 1996
    Jumlah Staf: 7
    Jumlah Sukarelawan : 5
    Sumber Dana : Ausaid, UNICEF, usaha pribadi
    Anggaran Tahunan : Rp. 100.000.000,- s/d Rp. 150.000.000,-
  • Kegiatan (2 tahun terakhir) :
    penguatan masyarakat sipil
    promosi toleransi dan pluralisme
    promosi kesehatan
    promosi hak asasi manusia
    jurnalisme perdamaian/strategi-strategi media
  • Kegiatan (2 tahun ke depan) :
    promosi hak asasi manusia
    jurnalisme perdamaian/strategi-strategi media
    promosi toleransi dan pluralisme
  • Tingkat Kegiatan : Kota
    Area Geografis : Nusa Tenggara Timur

  • Mitra Kerja dan Jaringan :
    Indonesia : Dian Interfidei, Folpa, INSIST, PRC, LKiS, PIAR, FSSM, YDD, PRC, FLO
    Dep/dinkes RI, Dep/dinsos, Bappenas/bappeda
    Internasional : AIDS Action, Aus -Aid, UNICEF, Pact, TdH.
    Pelayanan-pelayanan :
    Lokakarya dalam pengembangan organisasi
    Materi-materi training
    Pelatihan dalam pengembangan organisasi
    Pelatihan dalam keterampilan peacebuilding
    Pertukaran informasi
    Penelitian
    Jaringan Kerja

  • Keterangan Singkat Organisasi :
    LSM Swabina berawal dari sebuah LSM yang bersumber dana pada hasil lukisan dan patung karya John Th. Ire.
    Visi
    Masyarakat sejahtera berdasarkan kebajikan dan cinta kasih Ilahi
    Kegiatan (yang sehubungan dengan peacebuilding):
    - Melakukan dialog antaretnis dan agama melalui kegiatan pengembangan ekonomi dan kesehatan
    - Melakukan pendidikan kritis dan demokratisasi
    - Penelitian dan pelatihan
    - Advokasi
    - Promosi keberagaman terus dibuat melalui tulisan-tulisan
    Swabina Yasmine Flores dalam melaksanakan kegiatannya, dialog antaretnis dan agama selalu diperhatikan. Hal ini di anggap strategis karena bagi kondisi Flores yang relatif aman, kadang kita tidak harus terang-terangan untuk menjadikannya sebagai program utama jadi harus ada hal lain yang menjadi entri poin. Namun ini juga sangat bergantung pada kondisi, pemahaman terus diupayakan melalui berbagai kegiatan. Pelatihan tentang resolusi konflik dan wacana tentang kerukunan dalam keberagaman terus dibuat.
    http://www.direktori-perdamaian.org/ina/org_detail.php?id=379

Selendang Persaudaraan

Oleh FRANS OBON
KOTA Ende, Kamis (7/6) lagi mendung. Hujan rintik-rintik. Pagi-pagi orang harus menggunakan mantel hujan: ke kantor, ke sekolah, ke tempat kerja. Ada kasak kusuk akan datang tsunami. Sebagian cuek, sebagian khawatir. Sebagian tenggelam dalam kesibukan mempersiapkan misa pontifikal Uskup Agung Ende Mgr Vincentius Sensi Potokota, yang dihadiri Duta Besar Vatikan untuk Indonesia Mgr Leopoldo Girelli.
Ende dalam bulan Juni ini memperlihatkan posisi historisnya. Dia menjadi pusat pemerintahan daerah Flores masa lalu. Tempat pembuangan Bung Karno, presiden pertama Indonesia yang bersama Mohamad Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Megawati Soekarnoputri awal Juni lalu meresmikan patung Proklamator itu yang berdiri tegak di ujung utara sebuah lapangan yang lagi diusul untuk ganti nama lapangan Pancasila. Sebab Bung Karno mengaku di bawah pohon sukun, di tempat itu dia menemukan sila-sila Pancasila, ideologi bangsa Indonesia merdeka.
Di ruang kerjanya, Wakil Bupati Ende Bernadus Gadobani menerima empat aktivis perempuan dari Timor Leste: Veronica Correia, Zumira Fonseca, Justina Pereira, dan Apolonia dos Santos. Mereka diantar fasilitator Desa Siaga John Th Ire dan Marcel Levi. Dua hari lalu mereka tiba di Ende. Mereka dari Alola Foundation, yang fokus perhatiannya menolong perempuan dan anak Timor Leste.
Timor Leste merdeka melalui sebuah jajak pendapat di masa pemerintahan BJ Habibie September 1999. Tetapi merdeka bukan tanpa luka. Luka dalam konflik pasca jajak pendapat dan luka dalam konflik internal 2006 lalu. Yang paling menderita kelompok perempuan dan anak-anak. Negara Timor Leste, kata Correia, belum punya sistem pensiun. Seperti juga Indonesia dengan kultur patriarki, perempuan bergantung pada suami. Ketika mereka kehilangan suami dalam konflik, mereka seperti barang yang terlepas dari gantungannya.
Alola Foundation, yang didirikan 2001 dan digagas bersama Ibu Negara Kristy Xanana Gusmao hendak menyelamatkan situasi perempuan Timor Leste. "Sekarang masih banyak perempuan hidup di kamp penampungan akibat konflik internal 2006 lalu," kata Correia. Angka kematian ibu dan anak 420-800/100.000 kelahiran, angka buta huruf 64 persen, ekonomi merayap. Yayasan Alola melakukan advokasi hak perempuan dan anak, membangun capacity building agar perempuan dan anak korban konflik bisa memenuhi sendiri kebutuhan hidup mereka.
Yayasan ini memberikan beasiswa kepada anak-anak sekolah menengah umum selama tiga tahun. Sekarang mereka telah membiayai 800 anak. Mereka membangun sekolah persahabatan antara Timor Leste dan Australia.
Di bidang ekonomi, mereka membantu perempuan-perempuan menenun. Harga ditentukan oleh penenun. Selendang 5 dollar per lembar. Yang lebih besar dibeli 10-15 dollar. Yang besar sekali 20 dollar. Yayasan membantu pemasaran di tingkat nasional dan internasional. Yayasan ini mendapat dukungan penuh dari kementerian terkait yang tertuang dalam Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) dua tahun lamanya.
"Ini selendang tenunan perempuan Timor Leste," kata Correia ketika mengenakan selendang - tais dalam bahasa Timor Leste -- kepada Wakil Bupati Bernadus Gadobani di ruang kerjanya kemarin. "Terima kasih," kata Gadobani.
SEHARI sebelum bertemu Gadobani, mereka kunjung Desa Borokanda. Desa ini, satu dari lima desa - Manulondo, Borokanda, Wolotolo, Ndungga dan Dile - yang ditetapkan pemerintah Kabupaten Ende sebagai Desa Siaga. Lima desa ini pilot project pemerintah Kabupaten Ende menuju Ende Sehat 2010. Gadobani meresmikan pilot project ini 2005 lalu. Aus-Aid sebuah lembaga dari Australia ikut mendukung pembentukan Desa Siaga.
Lima aktivis perempuan Timor Leste ini ke Borokanda dan Jumat hari ini ke Manulondo mau melihat dari dekat kemajuan Siaga. Inilah tujuan mereka ke Ende dan Maumere: mau belajar cerita sukses membangun partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kesehatan ibu dan anak.
Panjang lebar Gadobani menjelaskan program ini. Kerja sama dengan LSM. Transportasi yang mulai lancar. Dia optimistis cerita sukses Desa Siaga akan dilanjutkan. Bahkan sebelum 2010, 128 desa ditetapkan jadi Desa Siaga.
John Th Ire minta Gadobani memberikan komitmen politik pemerintah dalam mendukung Desa Siaga. Gadobani menjanjikan sharing cost yang akan diajukan dalam perubahan anggaran Juli atau Agustus mendatang. "Kita harapkan kegiatan itu besar atau kecil mesti membawa dampak perubahan. Kita memang butuhkan waktu," kata Gadobani.
HOTEL Mentari di Jln Perwira "disteril". Seluruh ruangan utama dipakai. Diskusi dilanjutkan di tempat ini. Di deretan peserta hadir Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Frans Lasa, Ketua Desa Siaga Borokanda M Djae HD, Ketua Desa Siaga Manulondo Flavi, Kades Manulondo Anton Te, Bidan Desa, utusan Bappeda, Dinas Kesehatan, plus fasilitator Marcel Levi, John Ire, Rafael Minggu, dan pers. John Ire moderator.
Semua yang terlibat di Desa Siaga bicara. Mereka semangat bercerita. Awal mula dilakukan Problem Participatory Analysis (PPA). Ini dimaksudkan agar masyarakat menemukan masalah mereka sendiri, sadar punya masalah, lalu mencari solusi. Cerita proses pembentukannya dan proses mengubah mindset untuk menerima perubahan yang ditawarkan.
Desa Siaga punya jejaring: jejaring notifikasi tangani masalah pendataan ibu hamil, jejaring darah urus donor darah bila ibu hamil memerlukannya, jejaring transportasi urus kendaraan bila ibu hamil memerlukan bidan desa atau harus dibawa ke polindes, jejaring dana dan jejaring keluarga berencana.
Dua tahun pilot project ini berjalan, manfaatnya mulai dirasakan. Masalah kesehatan ibu dan anak dikeroyok ramai-ramai. Tidak ada lagi yang ditolong dukun jika bersalin. Peserta KB meningkat. Di Manulondo orang lebih suka pakai medote alamiah (KBA). Angka kelahiran menurun. Angka kematian demikian.
Soal dana, masyarakat membuat dua program: tabungan ibu hamil dan dana solidaritas lima ratus rupiah sebulan. Pemerintah daerah masih dukung dana satu juta rupiah per tahun per Desa Siaga.
"Desa Siaga tempat pertemuan antara negara dan partisipasi masyarakat. Kita mau bangun modal sosial," kata John Ire.
Correia mengatakan, mereka belajar dari pertemuan ini bagaimana memobilisasi masyarakat, menyusun strategi community development yang partisipatoris di Flores dan bagaimana bisa dalam dua tahun (2005-2007) terjadi perubahan signifikan. "Inilah yang dapat kami pelajari dari tukar pengalaman ini," kata Correia.
John Ire membaptis kunjungan ini sebagai rekonsiliasi antara Timor Leste dan Indonesia. Dialog kultural karena antara Timor Leste dan Flores memang punya simpul kultural. Kalau begitu, ini selendang (tais) persaudaraan.* Artikel ini dimuat di Flores Pos, 8 Juni 2007