29 Juli 2008

Anakmu Bukanlah Anakmu

Anak dan Perlakuan kita dalam sebuah refleksi puisi Kahlil Gibran

John Th. Ire



Dan seorang wanita yang mendekap anaknya berkata:
“Bicaralah pada kami perihal anak –anak”.
Maka orang bijak itu pun bicara:
“Putramu bukanlah putramu. Mereka adalah putra – putri kehidupan yang mendambakan hidup mereka sendiri.
Mereka datang dari kamu tetapi tidak dari kamu. Dan sungguhpun bersamamu mereka bukanlah milikmu. Engkau dapat memberi kasih sayangmu tetapi tidak pendirianmu sebab mereka memiliki pendirian sendiri.
Engkau dapat memberikan tempat pijak bagi raganya tapi tidak bagi jiwanya, lantaran jiwa mereka ada di masa datang, yang tidak bisa engkau capai sekalipun dalam mimpi.
Engkau boleh berusaha mengikuti alam mereka, tetapi jangan berharap mereka dapat mengikuti alammu, sebab hidup tidak surut ke belakang, tidak pula tertambat di masa lalu.
Engkau adalah busur dari mana bagai anak – anak panah kehidupan putra – putrimu melesat ke depan”.
The Prophet by Kahlil Gibran


Sebuah Puisi yang sangat menarik dan tak pernah lekang oleh zaman bahkan akan senantiasa memberikan inspirasi baru bagi yang membaca dan menyimaknya. Menjadi lebih menarik lagi karena dalam Pameran Iklan di Jakarta bertepatan dengan Ulang Tahun ke 37 Matari Advertising Indonesia pada April 2008 yang lalu memiliki catatan tersendiri. Dalam catatan Dunia Periklanan pada periode 1970-an Puisi tua ini pernah dipakai sebagai iklan layanan masyarakat dengan judul ’Renungan Bagi Orang Tua’ Namun, sayangnya iklan ini kemudian ditarik dari peredaran karena memicu kemarahan pemerintah... entah dari aspek mana ketersinggungannya?
Dalam konteks anak sebagai pemilik sang waktu yang akan datang dalam bentuk sebuah asset kehidupan di masa depan mari kita mencoba melihat karakter sebagai sebuah manifestasi bentuk perlakuan kita pada anak. Sebelum membahas lebih lanjut penulis ingin mengajak pembaca untuk melihat Buramnya Potret Anak Indonesia yang dilihat dari beberapa aspek dari berbagai sumber :
Kesehatan :
• 5.119.935 balita dari 17.983.244 balita Indonesia (28,47%) termasuk kelompok gizi kurang dan gizi buruk sehingga Indonesia dikategorikan dalam negara dengan status kekurangan gizi yang tinggi (WHO, 2004)
• Angka gizi buruk meningkat dari 1,8 juta balita di tahun 2005 menjadi 2,3 juta balita di tahun 2006 (UNICEF,2007)
• Hanya 42 % balita yang mendapat ASI ekslusif 6 bulan; 81% mendapatkan ASI makanan tambahan 6-9 bulan; 65% mendapatkan ASI makanan tambahan 20-23 bulan (UNICEF report, 2004)
• Hanya 77% anak yang mendapat imunisasi TB; 75% mendapat imunisasi DPT3; 74% mendapat imunisasi Polio3; 76% mendapat imunisasi Cacar; 67% mendapat imunisasi HepB3 dan 81% ibu hamil (imunisasi tetanus) sedangkan 61% anak (6-59 bulan) yang memperoleh Vit. A (Unicef, 2005)
• Pada tahun 2005 angka kematian bayi mencapai 32/1.000 kelahiran hidup dan angka kematian balita mencapai 40/1.000 (BPS, 2006)
• 154,126 anak kekurangan gizi diantaranya 29,480 anak menderita gizi buruk dan 120 anak kena marasmus (86 di sumba barat, 15 di kupang dan 10 di east flores dan 6 di TTS dan 3 di belu) (Jakarta Post, 24 february 2007)
• 80,582 anak balita di TTU terkena kurang gizi (Jakarta Post, 24 february 2007)
Pendidikan
• Bugdet pendidikan dalam APBN 2008 hanya 5,7 % (5,7 trilyun) (pidato presiden RI, Agustus 2007)
• Keikutsertaan anak dalam pendidikan masih rendah yaitu : preschool (5-6) = 22,35%; SD (7-12) = 94,19%; SMP (13-15) =59,47%; SMA (16-18) = 37,95% (laporan KHA nasional, 2007)
• Tingkat drop out di masing-masing level adalah : SD = 2,97%; SMP = 2,42%; SMU = 3,06% (laporan KHA nasional, 2007)
• Total buta aksara bagi populasi di atas 10 tahun adalah 8,09% (laporan KHA nasional, 2007)
• Jumlah penduduk = 4,3 juta jiwa atau 4.471.863 jiwa dan jumlah keluarga miskin meliputi 3.120.000 jiwa atau 624.000 keluarga (Kompas, 10 Oktober 2007)
• Pada tahun 2004/2005, jumlah siswa usia (7-18 tahun) sekolah mencapai 1.405.457 jiwa dan sekitar 723.000 anak tidak mendapatkan pendidikan (Kompas, 10 Oktober 2007)
Ekploitasi Ekonomi & Perdagangan Anak
• 1,5 juta anak usia 13-15 tahun bekerja dalam kondisi yang berbahaya contohnya anak-anak yang bekerja di kapal ikan (ILO, 2007)
• 2,6 juta orang pekerja domestik dan 68.000 dari mereka adalah anak-anak termasuk 640.000 remaja perempuan di bawah 18 tahun (ILO, 2007)
• 150000 anak menjadi anak jalanan (Data LSM, 2006)
• Pada tahun 2006, korban perdagangan manusia mencapai 1.022 jiwa dan 23 % diantaranya adalaha anak-anak (IOM, 2007).
• Korban perdagangan perempuan dan anak-anak untuk tujuan pekerja seks komersial mencapai 40.000-70.000 orang (UNICEF, 2006)
• Bagaimana dengan situasi TKI,TKW, pekerja anak asal NTT di daerah atau negara lain?
• Berapa kali dalam sebulan ada berita jenasah TKI/TKW yang dipulangkan ke NTT ?
• Berapa banyak anak-anak NTT yang harus bekerja ke luar daerah tanpa keterampilan?
Situasi Konflik / Bencana
• 166.080 orang terbunuh dalam bencana tsunami di Aceh dan Nias dan 99.648 orang (60%) diantaranya adalah anak-anak(laporan KHA, 2007)
• 4000 anak terpisah dari orang tuanya (laporan KHA, 2007)
• 108.905 anak menjadi korban baik meninggal dunia, menderita cacat permanen dan trauma dalam bencana gempa bumi di Bantul.
• Bagaimana dengan keadaan anak-anak jika terjadi bencana di NTT? (gunung Egon, Betun, manggarai)
Permasalahan dengan Hukum
• 136.000 anak bermasalah dengan hukum di Indonesia (BPS, 2005)
• 42 anak berada di penjara anak Kupang ( Juli 2007 )
• 11 orang anak berada di LAPAS Ende yang bercampur bersama dengan tahanan orang dewasa
Identitas Anak
• Sebagian daerah di Indonesia yang belum menetapkan pembuatan akte kelahiran secara gratis bahkan dijadikan sebagai sumber retribusi meskipun itu merupakan hak dasar anak sebagaimana diamanatkan dalam Undang – Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 .

Pada dasarnya ada 4 prinsip dasar hak anak yaitu : Hak kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, Kepentingan terbaik bagi anak, Non diskriminatif dan Hak partisipasi anak. Namun dalam perjalanannya selama ini ada banyak pelanggaran yang terjadi terhadap hak anak ini. Kekerasan terhadap anak adalah suatu kejahatan terhadap Hak Asasi (pasal 2 dan 19 Konvensi Hak Anak PBB. Pada Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 secara jelas menyatakan bahwa kekerasan dan perlakuan kejam terhadap anak adalah suatu kejahatan (pasal 80). Namun demikian assessment yang dilakukan di propinsi NTT dan NTB serta suatu studi yang dilakukan di 6 kota besar di Indonesia yang didukung oleh Unicef menunjukkan bahwa kejadian kekerasan terhadap anak di Indonesia bisa dibilang sangat tinggi baik itu kekerasan fisik, mental maupun seksual. Ada banyak kasus yang sampai ke lembaga-lembaga publik (kepolisian, pengadilan) untuk penyelesaiannya namun tidak sedikit juga selesai begitu saja atau tidak dilaporkan karena berbagai alasan. Ibarat fenomena gunung es tentunya kasus yang muncul ke permukaan ini hanyalah sebagian kecil dari yang ada di bawah permukaan.
Tindak kekerasan dapat terjadi di mana saja, baik di rumah (keluarga - oleh orang tua ), di sekolah ( oleh guru ), ataupun di lingkungan masyarakat, dan dapat dilakukan oleh siapa saja, baik orang tua maupun orang dewasa lainnya, kelompok masyarakat, remaja, tidak terkecuali oknum pejabat, dan sebagainya dengan berbagai bentuknya. Dari sebuah penelitian yang dilakukan pada anak-anak ( Ende dan Sikka ) sekitar 300 anak menemukan bahwa sebagian besar murid pernah mengalami beberapa tipe kekerasan : kekerasan fisik seperti dilempar kapur, dipukul, ditampar dsb, kekerasan psikologis yaitu verbal seperti mengatakan anak bodoh, seperti abbi, dsb dan non verbal seperti mengisolasi anak.Dari hasil survey pada 60 anak ditemukan bahwa 60% anak pernah di jewer; 30 % pernah dilempar dengan kapur; 90% pernah di tampar; 35 % pernah jarinya di jepit dengan pulpen; 95% pernah dikatakan bodoh atau kata-kata lain yang menyakitkan. Di sisi yang lain orang tua menyetujui cara pengajaran guru dengan kekerasan karena mereka percaya kekerasan adalah cara terbaik untuk mendisiplinkan anak. Sepintas kalau mau dilihat sebenarnya sudah mulai ada semacam kesadaran baru dari masyarakat untuk memenuhi hak anak dan memberikan efek jera pada si pelaku dengan menyelesaikan kasus kekerasan terhadap anak dengan tidak hanya sebatas urus damai saja namun menyerahkannya kepada aparat penegak hukum baik itu kasus-kasus yang berat (pencabulan dan pemerkosaan) maupun kasus yang ringan penganiayaan di rumah dan dalam kelas/ lingkup sekolah yang sering dianggap lumrah. Jenis dan tempat terjadi kedua kasus ini yang seringkali selalu dengan alasan suci yaitu ‘ pembinaan ‘.Namun kita tidak boleh cepat berpuas diri karena meskipun sudah mulai ada kesadaran untuk melindungi anak dari kekerasan ternyata secara jumlah dan intensitasnya pun juga masih tinggi, sebagaimana hampir setiap hari kita, mendengar, membaca dan melihat berita dari berbagai media tentang anak sebagai kolrban kekerasan mulai dari yang ringan sampai yang paling berat. Pembahasan pada tulisan ini penekanannya akan diarahkan pada perlakuan dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh keluarga atau di lingkungan keluarga yang seringkali merasa paling berhak karena sebagai pemilik yang sah dari anak-anak.
“Putramu bukanlah putramu. Mereka adalah putra – putri kehidupan yang mendambakan hidup mereka sendiri.
Keluarga sebagai komponen masyarakat terkecil di mana orang tua adalah lingkungan yang pertama dan utama bagi pembentukan kepribadian dan tingkah laku anak. Dikatakan demikian, karena sejak kelahirannya anak berada di lingkungan dan di bawah asuhan orang tuanya. Pola sikap, perilaku, dan nilai – nilai yang ditanamkan orang tua kepada anak melalui pengasuhannya itu merupakan landasan fundamental bagi perkembangan kepribadian dan tingkah laku anak selanjutnya. Segall, et al., (1990) menyebutkan bahwa “the developmentalniche” memiliki tiga komponen yang saling terkait, yaitu: (1) konteks fisik dan sosial tempat anak hidup, (2) pengasuhan yang ditentukan secara kultur dan praktek – praktek pendidikan, dan (3) karakteristik psikologis orang tua. Secara lebih tegas Fuhrmann (1990 : 108) menyatakan, jika suatu factor dapat dipisahkan sebagai factor tunggal yang berpengaruh dalam perkembangan anak, factor itu jelas factor keluarga atau orang tua. Unit keluarga, meskipun berubah secara drastis sebagai hasil inovasi teknologi dan sosiologis, tetapi tetap sebagai tempat sosialisasi yang pertama dan utama.
Mereka datang dari kamu tetapi tidak dari kamu. Dan sungguhpun bersamamu mereka bukanlah milikmu.
Dengan cara apa dan bagaimana orang tua menanamkan pola sikap, perilaku, dan nilai kepada anak, sangat tergantung kepada filosofi atau cara pandang orang tua tentang anak (anak dimata orang tua). Cara – cara yang digunakan orang tua dalam pengasuhan anak tersebut akan berdampak terhadap perkembangan kepribadian dan tingkah laku anak. Pada dasarnya ada tiga cara pandang orang tua terhadap anak, yaitu: (1) anak dipandang sebagai obyek, (2) anak dipandang sebagai subyek, dan (3) anak dipandang sebagai obyek sekaligus subyek. Orang tua yang memandang anak sebagai obyek, cenderung mengunakan pendekatan authoritarian dalam mengasuh anak; dan orang tua yang memandang anak sebagai subyek, cenderung mengunakan pendekatan permissive atau laissez – faire dalam mengasuh anak; sedangkan orang tua yang memandang anak sebagai obyek sekaligus subyek, cenderung mengunakan pendekatan authoritativedalam mengasuh anak. Baumrind seorang ahli psikologi mengemukakan tiga tipe orang tua dengan karakteristiknya , yaitu : orang tua authoritarian, orang tua permissive, dan orang tua authoritative (Baumrind dalam Lerner & Hullsch, 1983:282– 283).
Orang tua authoritarian berusaha untuk menentukan, mengontrol dan menilai tingkah laku dan sikap – sikap anak sesuai dengan yang ditentukan, terutama sekali berdasarkan standar-standar yang absolut mengenai perilaku. Orang tua ini menekankan nilai kepatuhan yang tinggi terhadap kekuasaan atau kewenangannya dengan menghukum, memaksa dengan kuat untuk mengekang “kehendak diri” anak bila perilaku dan keyakinan – keyakinan anak bertentangan dengan apa yang dipandang benar menurut orang tua. Norman, Richard, dan Sharon (1994 : 557) menambahkan bahwa pendekatan authoritarian menekankan pada kepatuhan yang keras, tanpa variasi ataupun negosiasi, dan kurang memperhatikan lingkungan sekitar. Pendekatan ini terutama direkomendasikan untuk menghilangkan penyimpangan tingkah laku.
Orang tua permissive mencoba untuk mereaksi terhadap perilaku hasrat dan keinginan, impuls – impuls anak, dengan cara tidak menghukum tetapi menerima, mengiakan atau membolehkan. Orang tua ini tidak menawarkan dirinya kepada anak sebagai “agen” yang aktif dan bertanggungjawab terhadap pembentukan atau modifikasi tingkah laku anak saat ini atau di masa depan. Orang tua tipe ini menjadikan dirinya sebagai sumber penghidupan (resource) bagi anak, dan menuruti keinginan atau kehendak anak. Menurut Norman, Richard,dan Sharon(1994 : 557), pendekatan permissive atau laissez – faire menekankan pada kebebasan anak untuk berbuat atau beraktivitas dalam mengembangkan dirinya. Dasar pertimbangannya bahwa anak memiliki hak dan kebebasan dan harus diberi kebebasan mengembangkan diri sesuai dengan potensinya. Hetherington & Parke (1993) menyebutkan, orang tua permissive adalah longgar secara berlebihan dan disiplin yang diterapkan tidak konsisten.
Sedangkan, tipe orang tua authoritative menurut Hoffman (1970), berusaha menunjukan atau mengatur aktivitas anak mereka dengan cara – cara yang berpusat pada isu rasional. Orang tua berusaha merangsang tingkah laku yang diinginkannya pada anak melalui penjelasan – penjelasan dan mempertimbangkannya dengan anak. Orang tua tipe ini memberikan dorongan lisan (verbal) “ saling memberi dan menerima” serta mengijinkan anak untuk duduk bersama –sama untuk ikut mempertimbangkan apa yang tersirat dibalik policy mereka. Orang tua ini menggunakan kontrol tegas tetapi pada tingkat yang tidak terlalu membebani anak dengan retriksi atau kekangan. Orang tua authoritative berusaha mengkombinasikan kekuasaan atau kewenangan dan induksi (prabawa) dalam membesarkan anak dengan aturan – aturan yang dilihat sebagai hak dan kewajiban bersama yang saling melengkapi antara orang tua dan anak (Baumrind,1968 :261). Steinberg (1993) menambahkan bahwa orang tua authoritative adalah hangat tetapi tegas. Mereka menggunakan seperangkat standar untuk mengatur tingkah laku anak tetapi membangun harapan – harapan yang disesuaikan dengan perkembangan kemampuan dan kebutuhan anak. Mereka menekankan nilai yang tinggi pada perkembangan otonomi dan pengarahan diri, tetapi bertanggungjawab penuh terhadap perilaku anak. Para orang tua ini menanamkan kebiasaan – kebiasaan rasional, berorientasi pada masalah dan menyenangkan dalam perbincangan dan penjelasan di seputar persoalan disiplin dengan anak-anak mereka.
Engkau dapat memberi kasih sayangmu tetapi tidak pendirianmu sebab mereka memiliki pendirian sendiri.
Setiap pendekatan yang digunakan orang tua dalam pengasuhan anak seperti yang diuraikan di depan, jelas memiliki dampak terhadap perkembangan kepribadian dan perilaku anak. Hurlock (1997) menyebutkan, disiplin otoriter yang keras (“authoritarian”), disertai banyaknya hukuman badan cenderung memupuk kebencian kepada semua orang yang berkuasa dan menimbulkan perasaan menyerah, perasaan yang dapat dan sering berkembang menjadi kompleks martir. Pendekatan disiplin otoriter dan disiplin lunak (“permissive”) dalam keluarga, keduanya menimbulkan pertentangan di rumah dan menyebabkan kebencian pada anak .Disiplin yang demokratis (“authoritative”) biasanya menghasilkan hubungan yang baik dan harmonis dalam keluarga.
Hasil penelitian Baumrind dalam Heterington & Parke (1993 : 431) menunjukan dampak pola pengasuhan orang tua terhadap perkembangan kepribadian dan perilaku anak adalah sebagai berikut . Pola pengasuhan permissive menyebabkan anak bersifat menurutkan kata hati, mau menang sendiri dan agresif. Akibat lainnya seperti: menentang, tidak mau mengalah terhadap orang dewasa atau orang tua , kepercayaan diri rendah, orientasi untuk berkompetisi dan berprestasi rendah, kontrol diri sangat kurang, cepat marah, tanpa tujuan dan lemah dalam mengarahkan tujuan – tujuan aktivitasnya, serta bersifat menguasai dengan keras sekali. Pola pengasuhan authoritarian adalah anak menjadi penakut, cemas atau gelisah, suka murung, tidak bahagia, mudah tergganggu dan suka mengganggu, permusuhan secara pasif dan menggunakan tipu daya, mudah stress atau tegang, mudah dongkol dan menarik diri dari masyarakat, serta tidak terarah. Sedangkan, pola pengasuhan authoritative, menyebabkan anak giat atau penuh semangat dan ramah tamah. Dampak lain dari pola pengasuhan authoritative adalah percaya diri, kontrol atau mawas diri baik, periang atau menyenangkan, mampu bergaul dengan baik antar teman sebaya, mampu mengatasi stress atau tekanan dengan baik, memiliki perhatian dan rasa ingin tahu pada cerita roman, dapat bekerja sama dengan baik dengan orang dewasa, taat atau mudah diatur,mempunyai tujuan tertentu,dan berorientasi prestasi. Selain itu anak akan selalu berpikir rasional dan punya semangat kompetisi yang sehat.
Engkau dapat memberikan tempat pijak bagi raganya tapi tidak bagi jiwanya, lantaran jiwa mereka ada di masa datang, yang tidak bisa engkau capai sekalipun dalam mimpi.
Menyimak hasil – hasil penelitian diatas, orang tua atau orang dewasa lainnya di manapun berada (di rumah, di kantor, atau di lingkungan pergaulan masyarakat), sudah seharusnya memberi contoh berperilaku yang baik kepada anak – anak. Dengan begitu anak akan tumbuh dan berkembang menjadi anak yang berkepribadian dan berperilaku yang baik pula, dan terhindar atau menghindari perilaku kekerasan. Tetapi sebaliknya, jika contoh perilaku kekerasan yang disaksikan dan dirasakan anak sepanjang hidupnya, maka akan kita saksikan generasi yang cenderung berorientasi pada tindak kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalan yang ia hadapi.
Engkau boleh berusaha mengikuti alam mereka, tetapi jangan berharap mereka dapat mengikuti alammu, sebab hidup tidak surut ke belakang, tidak pula tertambat di masa lalu.
Persoalannya sekarang, pendekatan manakah yang sebaiknya diterapkan dalam membantu pertumbuhan dan perkembangan anak? Apakah pendekatan permissive atau pendekatan authoritarian atau pendekatan authoritative yang direkomendasikan ? Didalam penerapan suatu disiplin sebagai upaya pembentukan dan pengembangan kepribadian dan perilaku anak, dianjurkan sedapat mungkin menghindari cara – cara kekerasan, baik itu kekerasan fisik maupun kekerasan psikologis. Sebagai acuan dalam penerapan disiplin pada anak, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan, yaitu: 1) Tujuan penerapan disiplin, Misalnya, bila tujuan penerapan disiplin itu adalah menghilangkan perilaku menyimpang pada anak, dapat digunakan pendekatan authoritarian dengan teknik hukuman yang tepat; tetapi bila tujuannya adalah untuk mendorong kreativitas dan kebebasan anak untuk berkembang sesuai dengan potensinya, maka sebaiknya digunakan pendekatan authoritative.2.) Konsistensi dari penerapan suatu disiplin, misalnya, penerapan pendekatan authoritarian dengan teknik hukuman yang digunakan untuk menghilangkan penyimpangan tingkah laku tertentu pada anak, maka untuk menghilangkan penyimpangan tingkah laku yang sama pada anak yang sama dalam waktu yang berbeda, sebaiknya menggunakan pendekatan yang sama yaitu pendekatan authoritarian dengan teknik hukuman. 3.) Tingkat atau fase perkembangan anak, Perkembangan individu melalui fase – fase tertentu, yaitu :fase bayi, fase anak, fase remaja, fase dwasa,dan fase lansia. Masing – masing fase ini memiliki karakteritik dan kebutuhan, serta kemampuan yang berbeda – beda, yang menuntut perlakuan yang berbeda pula. Oleh karena itu, maka penerapan pendekatan disiplin, sebaiknya diatur regulasinya secara bertahap sedemikian rupa dari fase bayi sampai pada fase lansia. Pendekatan authoritarian dan pendekatan permissive dapat diterapkan secara kombinatif sesuai tingkat perkembangan anak, dengan acuan utama berorientasi pada pendekatan authoritative.
Engkau adalah busur dari mana bagai anak – anak panah kehidupan putra – putrimu melesat ke depan”.
Kiranya kita semua menyadari bahwa sebagai orang tua, kita adalah busur dan seperti apa anak kita nantinya sangat bergantung pada kita semua saat ini. Kiranya pemenuhan hak anak dan segala upaya perlindungan bagi mereka adalah menjadi sebuah nilai dalam kehidupan bukannya keterpaksaan karena ketakutan akan bayangan sanksi sebagaimana yang tertuang dalam UUPA No. 23 Tahun 2002.
Dunia dan tatanan nilainya akan selalu berubah dan idealnya ke arah yang lebih baik. Semuanya sangat bergantung pada kita saat ini seperti kata Sang Nabi:
… Maka biarkanlah tiap musim merangkum musim yang lainnya.
Serta biarkanlah masa kini selalu memeluk masa lampau dengan kenangan.
Dan merangkul masa depan dengan kerinduan.
Pada akhirnya Terima kasih untuk Pujangga besar Kahlil Gibran yang telah menyadarkan kita akan nilai kehidupan.

*Ketua Lembaga Perlindungan Anak Ende, sebagian dari tulisan ini juga sudah pernah dipublikasikan sebagai Opini Penulis di SKH Pos Kupang