05 April 2008

Posyandu, sebuah konsep pendekatan hak anak

Oleh John Th Ire
Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Ende

SEPERTINYA sudah menjadi hal yang `biasa' dan ada pemakluman tersendiri apabila terjadi kejadian luar biasa untuk masalah kesehatan di Indonesia. Kematian yang masih terhitung jari adalah hal yang biasa dan baru akan menjadi luar biasa apabila jumlahnya sudah bertambah dari jumlah jari dan sudah berakibat pada keengganan orang asing untuk datang. Demikian halnya juga di NTT, selalu saja ada pemakluman dan pemaafan secara kolektif akan hal ini. Beramai-ramai berbicara di media cetak dan elektronik, mengemukakan berbagai pendapat dan pandangan mulai dari kesehatan, agama, sosiologi, hukum, politik baik yang ilmiah rasional sampai juga yang non ilmiah irasional. Bingung, dan dari semuanya ada satu benang merah yang menghubungkan antara satu dan yang lainnya adalah kesadaran kolektif untuk memaklumi bahwa daerah ini memang minus dan dimulailah litani panjang kekurangan yang dimiliki. "Kita memang mengalami kesulitan karena kekurangan tenaga medis." Ada yang bilang, "Kita memang mengalami kesulitan karena medan (topografi) ini memang sulit." "Kesadaran masyarakat kita memang rendah." Dan masih banyak lagi kalimat pembenaran lain.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2003 Indonesia menduduki urutan ke-112 dari 174 negara dan hal ini tentunya erat hubungannya dengan pertumbuhan dan perkembangan anak. Jumlah penduduk menurut SUSENAS 2001 adalah : 202.707.418 jiwa. Anak usia 0-4 tahun 5,8% - atau 11.757.030 jiwa, anak usia sekolah 5-14 tahun 20,76% atau 42.082.059 jiwa, usia di atas 64 tahun 4,6% atau 9.324.541 jiwa. Masa bayi, balita bahkan sejak dalam kandungan merupakan "periode emas" karena jika pada masa tersebut pertumbuhan dan perkembangannya tidak dipantau dengan baik dan terjadi gangguan pertumbuhan dan perkembangan maka tidak akan dapat diperbaiki pada periode selanjutnya sampai usia dewasa.
Di Indonesia 153.681 bayi mati setiap tahun. Itu berarti setiap harinya ada 421 orang bayi yang mati sama dengan 2 orang bayi mati setiap menit. 54% penyebab kematian bayi adalah latar belakang gizi. Kita bisa melihat data selanjutnya pada kondisi Indonesia saat ini: 27,3% balita Indonesia gizi kurang, 8% dari mereka gizi buruk, 50% balita Indonesia kekurangan vitamin A, 48,1% balita anemia gizi, 36% anak Indonesia tergolong pendek, 11,1% anak sekolah menderita GAKY, 50% ibu hamil kurang gizi.
Situasi kesehatan NTT dapat digambarkan dari Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) sebagai berikut: AKI 2002: 383/100.000, 2003: 424/100.000, 2004: 321/100.000, 2005: 554/100.000 dibandingkan dengan AKI Nasional 307/100.000 (SDKI 2002-2003). Penyebab kematian terbesar adalah perdarahan (58%) yang dipicu oleh anemia yang dialami ibu selama masa kehamilan. Sedangkan kematian neonatal 2002: 987/100.000 dan 2003: 904/100.000. Penyebab kematian terbesar adalah Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) 29%. BBLR terjadi karena pada masa kehamilan ibu mengalami kekurangan energi kronik (KEK).
Selain AKI/AKB, status gizi balita dapat juga menggambarkan situasi kesehatan di NTT. Ketika KLB busung lapar ramai diberitakan pertanggal 11 Juli 2005 adalah sbb : dari 477.829 balita di NTT, jumlah yang menderita gizi kurang adalah 85.604 anak balita, 12.925 menderita gizi buruk, 425 balita menderita marasmus dan meninggal adalah 35 orang yang tersebar pada 16 kabupaten/ kota. Berbagai upaya terus dilakukan ternyata pergeserannya juga masih belum terlalu jauh, seminggu yang lalu di awal Maret 2006 jumlah gizi buruk 13.000 dan yang meninggal sudah menjadi 52. Ini merupakan bukti bahwa perlakuan kita pada anak dan ibu belum sepantasnya. Atau dengan kata lain, mungkin kita masih melihat anak dan ibu dalam ukuran/standar kita. Kita lupa bahwa ibu semasa hamil dalam kondisi yang riskan membutuhkan perhatian khusus (AnteNatal Care, Gizi) dan anak masih bertumbuh dan berkembang yang membutuhkan sangat banyak `bahan dasar' yang baik. Kita juga bisa belajar banyak hal dari kasus busung lapar. Tanpa bermaksud untuk berprasangka buruk, sekadar untuk mengingat kasus busung lapar beberapa waktu yang lalu ketika awal-awal dipublikasikan hampir semua instansi terkait dan kepala wilayah setempat mulai dari yang paling kecil bersikap denial (menyangkal), namun cerita menjadi lain ketika media dan LSM mulai menunjukkan fakta-fakta dan begitu banyak yang tertarik akan memberikan bantuan, data tentang jumlahnya pun melambung menjadi sangat fantastis. Mengapa demikian? Apakah sistem deteksi dininya tidak berjalan ataukah laporannya tidak diteruskan atau informasi diperoleh, namun dianggap tidak terlalu penting untuk ditindaklanjuti?
Adakah institusi yang dapat kita gunakan untuk mengatasi masalah ini?
Posyandu, demikian singkatan dari Pos Pelayanan Terpadu, awalnya adalah sebuah organisasi pelayanan pencegahan penyakit dan keluarga berencana bagi kalangan isteri berusia subur dan balita. Posyandu diharapkan lahir dan dikembangkan atas kesadaran dan upaya masyarakat sendiri, atau partisipasi sosial dari setiap komunitas di desa dan kelurahan. Dalam rencananya kegiatan posyandu akan dilakukan oleh para anggota PKK tingkat desa dan kelurahan di bawah koordinasi isteri kepala desa atau lurah setempat. Posyandu juga sebenarnya merupakan salah satu kegiatan dari LKMD. Sebagaimana dalam ketentuan Depdagri, LKMD merupakan perwujudan dari seluruh anggota masyarakat dengan memadukan pimpinan formal pemerintahan dan para tokoh informal setempat di bawah koordinasi kepala desa atau lurah. Mereka merancang kegiatan pembangunan dan melaksanakannya bersama berdasarkan keputusan bersama yang demokratis termasuk posyandu. Posyandu : pos pelayanan terpadu adalah akronim yang sudah sangat familiar di telinga masyarakat kita, tapi jujur harus diakui bahwa sampai dengan saat ini masih banyak desa yang belum memiliki organisasi ini. Kalaupun ada, tidak berjalan, berjalan pada awal bulan selanjutnya tidak berjalan atau berjalan pada saat ada kunjungan dari atasan atau juga ada KLB, kejadian luar biasa. Yang berjalan pun hanyalah terbatas pada kegiatan penimbangan bayi dan pengisian KMS serta pemberian makanan tambahan. Kegiatan posyandu pada saat ini mengalami kemunduran. Yang masih berjalan hanya imunisasi dan gizi dalam pertemuan bulanan.
Kegiatan bulanan mundur kualitasnya, sementara penggerakan aksi masyarakat dan komunikasi masa/kunjungan ke rumah hampir tidak ada. Kader yang tidak aktif dan kalaupun aktif selalu berjuang sendiri bersama tim penggerak PKK yang juga dalam komunikasinya kadang terkesan otoriter karena terkesan ada pembagian kelas atas dan bawah yaitu kader dan tim penggerak PKK melihat para ibu sebagai kelompok sasaran.
Kegiatan lain tidak berjalan dengan teratur seperti penyuluhan, namun malah kegiatan yang sebenarnya tidak termasuk dalam program posyandu justeru yang dilaksanakan sehingga ramai dikunjungi yaitu perawatan kuratif yang dilaksanakan oleh paramedis dari puskesmas setempat dengan biaya yang disesuaikan dengan kemampuan pasien. Pada akhirnya posyandu lebih sebagai tempat masyarakat mencari pengobatan. Memang pola seperti ini awalnya hanya dilakukan pada tempat-tempat yang sangat terpencil, namun pada akhirnya ada semacam persepsi bahwa inilah bentuk `peningkatan posyandu'.
Bila dilihat lebih jauh ada banyak hal yang kita dapatkan selain daya tarik posyandu hanyalah pada perawatan kuratif beberapa di antaranya : posyandu hanya dilihat sebagai sebuah rutinitas biasa; posyandu hanya menjadi urusan dari kelompok sasaran yaitu ibu hamil, bayi dan balita; sistem deteksi dini tidak berjalan, informasi yang diperoleh tidak digunakan sebagaimana mestinya. Sebagai contoh, kasus busung lapar yang dengan sangat cepat langsung menjadi KLB, padahal tentunya kasus ini tidak serta merta terjadi. Permasalahan lain adalah komunikasi hanya terbatas pada para kader kesehatan dengan ketua tim penggerak PKK, antara para ibu dan para petugas kesehatan pada tingkat puskesmas. Dalam keterbatasannya, kader yang memang cukup letih berjuang sendiri kadang salah berkomunikasi. Tenaga medis akan selalu berlindung di balik alasan kekurangan tenaga dan fungsi mereka hanya pelayanan, bukan sebagai penggerak masyarakat. Apabila mengalami hambatan komunikasi bukannya mencari alternatif lain. Dengan hilangnya BKKBN di daerah mempunyai masalah tersendiri karena tidak ada lagi instansi yang memiliki lini sampai di tingkat desa selain dinas kesehatan.
Siapa yang terkena dampak?
Dari permasalahan ini anak akan langsung mengalami dampaknya, yaitu apa yang seharusnya diperoleh sebagai haknya selain mendeteksi secara dini gangguan pada pertumbuhan dan perkembangan balita terabaikan yaitu hak hidup, hak tumbuh kembang dan hak perlindungan. Kehadiran ibu menyusui, ibu hamil untuk memperoleh pelayanan tablet tambah darah, penimbangan berat badan dan penyuluhan kesehatan tidak diperolehnya sehingga berdampak pada kondisi kesehatannya. Upaya menuju persalinan selamat pun menjadi hal yang sulit. Akibatnya oleh masyarakat posyandu pun semakin dilihat sebagai sebuah rutinitas biasa yang kalau toh dijalankan tergantung waktu luang karena tidak memberikan sebuah pengaruh yang signifikan dan pada akhirnya tinggalah perempuan sendiri yang berkutat dengan permasalahan kesehatan reproduksinya. Kader pun akan kehilangan motivasi kerja dan dalam keterbatasannya kader yang memang cukup letih berjuang sendiri kadang salah berkomunikasi. Perdebatan tentang siapa yang benar, tenaga yang terbatas, topografi yang sulit dan masyarakat yang malas akan selalu muncul antara instansi termasuk TP PKK, dinas kesehatan, BPMD, pemerintah desa dan masyarakat. Pada akhirnya akan muncul kalimat : "Posyandu adalah milik masyarakat dan sebagai bentuk partisipasi masyarakat." Namun karena ini menyangkut permasalahan kesehatan dan sudah ada salah kaprah dan terlanjur mengidentikkan perawatan kuratif sebagai bagian dari upaya peningkatan posyandu, masyarakat pun dengan serta merta akan menuding dinas kesehatanlah `yang paling layak untuk dikambinghitamkan'.
Mengapa semua ini bisa terjadi?
1). Selain karena pembentukannya tidak partisipatif kadang hubungan tugas antara kepala desa/lurah beserta isteri mereka yang sebagai ketua tim penggerak PKK berlangsung secara otoriter dan tidak demokratis. 2.) Pemahaman masyarakat yang bias gender di mana melihat permasalahan anak adalah urusan perempuan dan perempuan sendiri tidak mampu mengambil keputusan apa yang terbaik bagi dirinya tentang hak reproduksinya, karena masalah kesehatan reproduksi akan tetap hanya menjadi urusan perempuan. 3.) Saling lempar tugas dan tanggung jawab dari instansi terkait yang dalam funsinya adalah pembina. 4.) Minimnya pemahaman masyarakat (termasuk instansi pemerintah) tentang hak dan tanggung jawabnya 5.) Posyandu dilihat hanya sebatas permasalahan kesehatan.
Selanjutnya apa yang dapat kita lakukan dengan melihat lima besaran sumber masalah di atas? Saya pikir ada satu jalan yang sangat tampan yang dapat menca-kup kelima permasalahan di atas yaitu kita masuk melalui permasalahan keempat. Posyandu harus dilihat sebagai sebuah pendekatan hak. Hak anak dan hak perempuan. Ada dua hal yang harus dipromosikan di sini untuk dihubungkan pada titik posyandu yaitu : apa yang disebut dengan responsibility (tanggung jawab) dari masyarakat dan obligation (kewajiban) dari negara. Masyarakat harus disadarkan bahwa mereka punya hak di sini hak untuk sehat dan posyandu adalah hak anak dan hak perempuan. Semua orang memiliki hak yang setara untuk itu dan untuk itu dituntut seluruh lapisan masyarakat untuk ikut bertanggung jawab untuk pemenuhan hak tersebut. Saat yang bersamaan juga masyarakat juga harus disampaikan bahwa negara memiliki obligation untuk pemenuhan hak tersebut melalui instansi terkait. Dengan demikian masyarakat bertanggung jawab dan dapat mengomunikasikannya dengan instansi terkait (pemerintah) dan instansi (pemerintah) juga akan melaksanakannya dengan penuh rasa tanggung jawab.
Program revitalisasi posyandu mutlak dilakukan, namun kader dan instansi terkait perlu diberikan sebuah pemahaman baru dengan sebuah pendekatan hak yaitu hak anak dan perempuan.
Idealnya apabila ini bisa berjalan dengan baik, po-syandu pada akhirnya dapat dibangun dengan prinsip kebersamaan dan partisipasi yang adil dan setara (equal participation), keterbukaan (transparency), kebertang-gungjawaban (accountability) dan kelestarian program (sustainability). Dan bukan tidak mungkin pada akhirnya posyandu akan dapat menemukan nilai-nilai baru yang pada akhirnya dapat digunakan (rules in-use) yang mereka gunakan untuk acuan bertindak (Elinor Ostrom 1992). Sebagai contoh, karena posyandu adalah wadah yang paling depan di masyarakat dengan anak sebagai kelompok sasarannya, pada akhirnya dapat menjadi rujukan bagi berbagai upaya pemenuhan hak anak dan perempuan. Kita tidak perlu berdebat tentang topografi yang sulit dan tenaga medis yang terbatas serta kader yang rendah SDM-nya karena partisipasi masyarakat pada akhirnya mengantarkan mereka untuk ikut terlibat mendeteksi secara dini siapa yang membutuhkan pertolongan persalinan, misalnya siapa, kapan dan di mana dan pada akhirnya juga adanya sistim ambulans desa yang bekerja dengan baik, siapakah dengan golongan darah nyang sama yang akan siap mendonorkan darahnya nanti apabila dibutuhkan sehingga risiko bahaya bisa diperkecil. Sementara untuk pemenuhan hak anak bukan tidak mungkin posyandu pada akhirnya menjadi salah satu bagian terpenting dari sebuah sistem rujukan pemenuhan hak anak. Kader dapat menjadi vocal point bagi upaya pemenuhan hak anak. Identitas anak bisa diawali dari posyandu, data pelanggaran hak anak bisa diperoleh juga dari posyandu. Dan hal ini akan menjadi sebuah modal sosial baru dalam masyarakat yang berintikan pada kepercayaan (trust), norma-norma (norms), dan jaringan-jaringan (networks). Semua ini tentu mudah dilakukan apabila semua lapisan masyarakat ikut berpartisipasi. Suatu partisipasi dikatakan tinggi seluruh warga memiliki kesempatan yang sama untuk terlibat dalam semua tahapan pengelolaan yaitu : perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pemanfaatan hasil (Norman Uphoff 1988).
Posyandu adalah modal sosial yang sangat besar dan dapat merubah dunia apabila bisa dikelola dan berjalan dengan baik. Di sanalah tempat para harapan bangsa dan ibu bangsa ini dilayani agar menjadi sehat karena itulah hak mereka dan kita semua berkewajiban dan bertanggung jawab agar hak mereka terpenuhi.
"Mungkin ini sulit tapi bukan tidak mungkin. Hidup ini bila dilihat dan dipikirkan sebelum dijalani akan terlihat sebagai untaian tragedi dan bila dipikirkan dan dilihat setelah dijalani semuanya adalah untaian komedi. Mari, sejak saat ini kita coba membantu posyandu di sekitar kita agar di masa depan menjadi lebih baik. Maka biarkanlah tiap musim merangkum musim yang lainnya. Serta biarkanlah masa kini selalu memeluk masa lampau dengan kenangan. Dan merangkul masa depan dengan kerinduan.*
Pos Kupang online http://www.indomedia.com/poskup/2006/03/16/edisi16/1603pin1.htm)
Tanggal : 16 Maret 2006

Tidak ada komentar: